Oleh: Prof. Masykuri Abdillah
Idulfitri merupakan puncak dari rangkaian ibadah puasa Ramadan yang dilaksanakan selama sebulan penuh. Dengan demikian, pembahasan tentang makna (nilai-nilai) yang terkandung dalam Idulfitri tidak bisa lepas dari pembahasan tentang makna yang terkandung dalam ibadah puasa.
Allah menyebutkan tujuan puasa ini untuk membentuk orang-orang yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (Q.S. al-Baqarah: 183).
Meskipun demikian, ternyata puasa juga mengandung hikmah tidak hanya yang berdimensi spiritual dan vertikal tetapi juga sosial dan horizontal, terutama penguatan akhlak (etika-moral) dan watak (karakter) orang yang berpuasa. Puasa bahkan menjadi sarana latihan yang efektif untuk penguatan akhlak dan karakter ini, terutama untuk mewujudkan manusia yang bebas dari dosa dan perbuatan tercela, manusia yang dapat mengendalikan diri dan jujur, dan sekaligus manusia yang memiliki solidaritas sosial yang tinggi.
Makna mendalam
Puasa dilakukan melalui pengendalian diri (imsak) pada siang hari dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dari aktivitas makan, minum dan hubungan seksual. Namun, kesempurnaan puasa tidak terbatas pada pengekangan tiga hal ini saja, tetapi meliputi pengekangan ego dari semua keinginan, sikap dan tindakan tercela (kemaksiatan). Dalam pelaksanaan puasa ini terkandung pula nilai kejujuran yang tinggi, karena bisa saja seseorang berpura-pura puasa di hadapan umum tetapi sebenarnya ia tidak berpuasa.
Di samping itu, dalam puasa juga terkandung nilai tolong-menolong (solidaritas sosial). Selama Ramadan seseorang dianjurkan untuk banyak bersedekah, dan diwajibkan membayar zakat fitrah yang terutama diberikan kepada fakir miskin. Bahkan, puasa ini memunculkan empati seseorang dengan membayangkan perasaan fakir miskin yang kelaparan atau kekurangan makanan sebagaimana dirinya mengalami kelaparan saat berpuasa.
Idulfitri merupakan puncak dari rangkaian ibadah puasa Ramadan yang dilaksanakan selama sebulan penuh. Dengan demikian, pembahasan tentang makna (nilai-nilai) yang terkandung dalam Idulfitri tidak bisa lepas dari pembahasan tentang makna yang terkandung dalam ibadah puasa.
Allah menyebutkan tujuan puasa ini untuk membentuk orang-orang yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (Q.S. al-Baqarah: 183).
Meskipun demikian, ternyata puasa juga mengandung hikmah tidak hanya yang berdimensi spiritual dan vertikal tetapi juga sosial dan horizontal, terutama penguatan akhlak (etika-moral) dan watak (karakter) orang yang berpuasa. Puasa bahkan menjadi sarana latihan yang efektif untuk penguatan akhlak dan karakter ini, terutama untuk mewujudkan manusia yang bebas dari dosa dan perbuatan tercela, manusia yang dapat mengendalikan diri dan jujur, dan sekaligus manusia yang memiliki solidaritas sosial yang tinggi.
Makna mendalam
Puasa dilakukan melalui pengendalian diri (imsak) pada siang hari dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dari aktivitas makan, minum dan hubungan seksual. Namun, kesempurnaan puasa tidak terbatas pada pengekangan tiga hal ini saja, tetapi meliputi pengekangan ego dari semua keinginan, sikap dan tindakan tercela (kemaksiatan). Dalam pelaksanaan puasa ini terkandung pula nilai kejujuran yang tinggi, karena bisa saja seseorang berpura-pura puasa di hadapan umum tetapi sebenarnya ia tidak berpuasa.
Di samping itu, dalam puasa juga terkandung nilai tolong-menolong (solidaritas sosial). Selama Ramadan seseorang dianjurkan untuk banyak bersedekah, dan diwajibkan membayar zakat fitrah yang terutama diberikan kepada fakir miskin. Bahkan, puasa ini memunculkan empati seseorang dengan membayangkan perasaan fakir miskin yang kelaparan atau kekurangan makanan sebagaimana dirinya mengalami kelaparan saat berpuasa.
Orang yang melaksanakan puasa dengan pemenuhan ketiga nilai atau prinsip tersebut, yakni pengendalian diri, kejujuran dan solidaritas sosial, akan menjadi bersih tanpa dosa, sebagaimana sabda Rasulullah: "Barang siapa berpuasa kerena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu" (H.R. Ahmad), atau dengan ungkapan lain 'itq min al-nâr (bebas dari api neraka).
Oleh karena itu, penutup ibadah puasa ini, yakni pada 1 Syawal, disebut sebagai hari "Idulfitri", yang artinya hari kembalinya manusia kepada sifat alamiahnya yang bersih tanpa dosa. Ketiga nilai tersebut merupakan kunci utama pembentukan akhlak dan karakter yang baik.
Naluri manusia memang memiliki keinginan-keinginan (nafsu), baik nafsu biologis, materi maupun kekuasaan (Q.S. Ali ’Imran: 14). Islam pun tidak melarang keinginan-keinginan ini, tetapi membatasinya minimal dengan ketiga nilai tersebut. Munculnya sejumlah persoalan sosial, seperti korupsi, perampokan, pencurian, penipuan, perzinaan, egoisme, keserakahan, kekerasan, penyalahgunaan wewenang, narkoba, miras dan sebagainya merupakan ekspresi keinginan yang tidak disertai dengan kepemilikan ketiga nilai tersebut. Oleh karenanya, ketiga nilai ini harus diwujudkan tidak hanya selama Ramadan, tetapi juga pada hari-hari di luar Ramadan.
Etika bisnis
Salah satu tujuan syariat Islam adalah untuk melindungi harta (hifzh al-mal). Dalam urusan harta ini Islam memberi dorongan kuat kepada umatnya untuk bekerja memperoleh harta, dan menyebutnya sebagai "usaha pencarian karunia Allah“; dan sebaliknya, Islam mencela orang-orang yang malas bekerja dan pengangguran. Islam pun memberi perlindungan terhadap harta, baik milik sendiri maupun milik orang lain.
Dalam melakukan kegiatan ekonomi (bisnis) tersebut manusia sering tergoda untuk bersikap egois, hanya untuk menguntungkan diri sendiri walaupun harus merugikan orang lain. Oleh karena itu, agar kegiatan pencarian harta (kegiatan ekonomi) ini berjalan dengan aman, fair dan manusiawi, Islam mengajarkan adanya akhlak (etika moral) dan prinsip-prinsip hukum berkaitan dengan kegiatan ekonomi.
Keberadaan etika-moral atau sering disebut “etika bisnis” ini tidak hanya menguntungkan bagi masyarakat umum dan ekonomi nasional, tetapi bahkan bagi perusahaan itu sendiri. Ketiga nilai tersebut di atas merupakan prinsip-prinsip penting sebagai dasar pembentukan etika bisnis ini.
Pertama, pengendalian diri merupakan nilai yang dibutuhkan untuk mengarahkan nafsu serakah dan mengambil untung sebanyak-banyaknya. Islam melarang aktivitas ekonomi yang didasarkan semata-mata untuk keuntungan individu, tanpa menghiraukan kepentingan umum.
Kedua, aktivitas ekonomi juga harus didasarkan pada prinsip kejujuran (amanah) dan tidak saling merugikan antara satu dengan lainnya, sebagaimana sabda Rasulullah: Pelaku bisnis yang jujur dan terpercaya akan termasuk ke dalam golongan para nabi, para orang saleh dan para syuhada'. (H.R. al-Tirmidzi).
Sebaliknya, Islam melarang hubungan ekonomi yang mengandung unsur manipulasi atau penipuan (gharar), baik dalam bentuk informasi bohong tentang kondisi komoditas, sumpah palsu, maupun timbangan yang tidak akurat. Termasuk dalam hal ini adalah adanya kolusi antara pihak pengusaha dan pihak penguasa. Ketidakjujuran ini akan merugikan tidak hanya kepada mitra bisnisnya secara individual, tetapi juga merusak kondisi ekonomi secara nasional serta menghilangkan kepercayaan internasional.
Ketiga, hubungan antarsesama manusia, termasuk dalam bidang ekonomi, harus didasarkan pada sikap kerja sama dan tolong menolong (ta’awun) antara satu dengan lainnya (Q.S. al-Maidah: 2). Kerja sama ini dilakukan karena seseorang tidak bisa berbuat sendiri, tetapi membutuhkan mitra untuk keberhasilan usahanya. Di sisi lain, Islam mencela orang yang egois yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan tidak memiliki solidaritas sosial. Orang yang demikian ini tidak mau mendermakan sebagian dari kekayaannya kepada orang yang membutuhkan bantuan, seperti anak yatim dan fakir miskin (Q.S. al-Ma’un: 1-3). Oleh karenanya, kini dikembangkan konsep corporate social responsibility (CSR), yakni perlunya tanggung jawab perusahaan untuk membantu kegiatan-kegiatan sosial, termasuk pengentasan kemiskinan.
Dalam kenyataannya, etika bisnis di Indonesia masih belum cukup kuat. Terjadinya krisis ekonomi di akhir kekuasaan Orde Baru lalu antara lain juga disebabkan oleh lemahnya etika bisnis ini, yang dalam kenyataannya telah memperlemah fundamental ekonomi.
Meskipun pada era reformasi ini sudah lebih baik daripada era sebelumnya, aktivitas bisnis yang tidak disertai etika kini masih banyak terjadi. Keserakahan masih banyak terjadi, misalnya dalam bentuk ekspansi usaha bermodal besar yang mematikan usaha kecil, eksploitasi alam yang merusak lingkungan hidup.
Demikian pula, ketidakjujuran juga masih terjadi, misalnya dalam bentuk kolusi pengusaha dengan penguasa serta adanya praktik manipulasi produk, informasi dan penghitungan pajak. Di samping itu, kini masih banyak pula pengusaha yang berorientasi hanya memperoleh keuntungan untuk diri mereka, tanpa disertai rasa tanggung jawab untuk membantu kegiatan-kegiatan sosial.
Memang dalam tahun-tahun terakhir ini kesadaran pengusaha tentang CSR semakin meningkat, dengan semakin banyaknya perusahaan yang menyisihkan dana untuk kegiatan-kegiatan sosial. Namun, kesadaran ini masih belum optimal, terutama di lingkungan perusahaan-perusahaan swasta.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan puasa secara fungsional serta penghayatan terhadap maknanya dan makna Idulfitri menjadikan seseorang tidak hanya bebas dari dosa dan kembali kepada kondisi yang fitri (terlahir kembali), tetapi juga memiliki akhlak (etika-moral) dan karakter yang baik.
Oleh karena itu, nilai-nilai puasa Ramadan dan Idulfitri ini seharusnya juga dipraktikkan pasca-Ramadan dan Idulfitri demi penguatan akhlak bangsa, termasuk etika bisnis. Dengan etika ini seseorang yang melakukan aktivitas bisnis akan mampu mengendalikan diri dari keserakahan dan manipulasi, bertindak secara jujur dan memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar